HANACARAKA, salah satu bentuk perkembangan tulisan Jawa yang terdiri atas 20 huruf. Menurut para ahli epigrafi, tulisan Jawa berasal dari suatu bentuk tulisan sansekerta Dewanagari dari India Selatan, yang terdapat pada prasasti-prasasti dari zaman dinasti Palawa yang menguasai daerah pantai India Selatan pada abad ke-4.
Demikian, tulisan itu juga di sebut tulisan Palawa. Tetapi dalam jangka waktu berabad-abad tulisan itu telah mengalami perubahan. Prasasti Jawa tertua memang menggunakan tulisan Palawa ini, sehingga huruf yang digunakan para pujangga Jawa Timur dari abad ke-10 hingga 11 dalam ciptaan-ciptaan kakawihan mereka sudah mempunyai ciri khas Jawa.
Sepanjang sejarah kesusasteraan Jawa yang panjang itu, orang Jawa telah mengenal berbagai tulisan asli. Ada suatu legenda mengenai asal mula penduduk Jawa yang tertua, dan mengenai masuknya kebudayaan Jawa di pulau Jawa.
Hal itu sekaligus juga menerangkan bahwa penggunaan tulisan Jawa merupakan unsur penting dari kebudayaan itu.Legenda tersebut menceritakan kisah Pangeran Ajisaka yang digambarkan sebagai seorang pahlawan dari Mekah yang berkelana melalui berbagai negara untuk membawa peradaban kepada umat manusia. Melalui Srilanka, Pantai India Selatan, Sokadana (kemungkinan yang dimaksudkan adalah pulau Sumatera), akhirnya Pangeran Ajisaka tiba di Jawa, yang pada waktu itu merupakan tempat tinggal para raksasa dengan rajanya yang bernama Dewata Cengker.
Dalam perjalanan menjelajahi Nusa Jawa, Pangeran Ajisaka menemukan dua tubuh raksasa yang telah mati. Di tangan kedua raksasa tergenggam masing-masing sehelai daun. Di atas kedua daun tersebut terdapat masing-masing tulisan purwa (kuno) dan tulisan Thai.
Oleh Pangeran Ajisaka kedua tulisan tersebut disatukan, dan dengan demikian ia menciptakan abjad Jawa yang terdiri atas 20 huruf, yang jika dirangkai membentuk suatu kalimat yang berbunyi: ha na ca ra ka da ta sa wa la pa dha ja ya nya ma ga ba tha nga. Arti kalimat tersebut adalah, ”Ada dua orang utusan yang saling bertengkar, keduanya sama kuat dan karena itu kedua-duanya mati”.
Legenda itu antara lain ditulis dalam sebuah buku Jawa yang berisikan sejarah mitologi Pulau Jawa hingga berdirinya Kerajaan Majapahit, kemudian harus mengalami perubahan huruf Jawa yang diajarkan di sekolah di Jawa Tengah dan Jawa Timur sekarang ini adalah yang dipakai dalam karya-karya kesusastraan zaman Mataram dari Abad ke-18 dan 19.
Huruf Jawa Mataram ini agaknya menjadi mantap setelah diciptakan mesin cetak dengan huruf Jawa yang dipakai oleh para penerbit Belanda, awal abad ke-19, dan terbitnya surat kabar berbahasa Jawa yang pertama, yaitu Armartani, 1878.Ada juga buku kesusastraan Jawa yang ditulis dengan tulisan pegon atau gundhil, yaitu tulisan Arab yang disesuaikan dengan keperluan bahasa Jawa. Penggunaan huruf ini terutama untuk kesusastraan Jawa yang bersifat keagamaan Islam, dan tidak pernah digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari.
Hanacaraka tidak hanya dikenal oleh orang Jawa, melainkan juga oleh orang Sunda dan Bali, sebagai dampak pengaruh kekuasaan Kerajaan Jawa pada masa lampau. Dari sumber tertulis dari naskah-naskah Sunda lama, disebutkan bahwa Orang Sunda juga semula mempunyai huruf Sunda.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, naskah-naskah Sunda tidak lagi ditulis dengan huruf Sunda melainkan dengan huruf Pegon atau huruf Jawa.(Silmy/diambil dari Ensiklopedia Indonesia)***